PLUS | Platform Usaha Sosial

Peran Social Entrepreneurship dalam Mendukung Inklusi Keuangan

oleh Nur Izzatul Muthiah
News, Social Entrepreneurship 2 minutes read

Kaitlin Shilling, Director PLUS, dan 3 pembicara lainnya berkesempatan untuk menjadi salah satu narasumber dalam diskusi panel Dialog Kemitraan CCPHI bertema How Digital Can Accelerate Financial Inclusion and Bring the Indonesian Mass Market the Next Level di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina pada 16 Mei 2017 lalu. Diskusi panel ini diadakan seiring dengan bahasan bahwa keuangan masih menjadi hal yang ekslusif bagi sebagian orang di Indonesia.

Sebanyak 19.6% atau sekitar 50 juta penduduk Indonesia masih belum memiliki akses terhadap jasa-jasa keuangan. Mayoritas merupakan penduduk pedesaan yang masih belum memiliki pengetahuan mengenai jasa-jasa perbankan, atau dengan kata lain tidak memiliki literasi keuangan yang baik. Hal ini sangat disayangkan mengingat desa merupakan daerah otonom terkecil yang sedang didorong percepatan ekonominya dengan pemberian dana sebesar 1 M untuk tiap desa. Dana tersebut disalurkan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan diatur secara independen oleh masyarakat desa setempat. Literasi keuangan jelas dibutuhkan untuk mengelola dana yang tidak sedikit ini.

Perbankan dan OJK mulai menaruh perhatian pada kurangnya literasi dan inklusi keuangan di Indonesia ini. Beberapa perbankan, seperti contohnya BTPN, mulai menjajaki dunia financial technology untuk membuat jasa perbankan bisa diakses oleh lebih banyak pihak. BTPN meluncurkan BTPN Wow!, program yang mempermudah akses terhadap uang dan jasa keuangan hanya dengan mengandalkan teknologi ponsel sederhana dan bantuan dari agen-agen perbankan di daerah-daerah. OJK mendukung perkembangan ini dengan memberikan literasi keuangan kepada masyarakat secara lebih luas.

Sementara itu, Kaitlin memberikan perspektif yang melengkapi bahasan pada hari itu. Perkembangan social entrepreneurship di Indonesia bisa mendukung kemajuan ekonomi dan inklusi keuangan di Indonesia. Beberapa social enterprise seperti Ruma, Koperasi Kasih Indonesia, atau berbagai social enterprise lainnya juga turun dalam isu finansial,  ekonomi, dan banyak pula yang berbasis di daerah rural. Social entrepreneurship berkembang dari identifikasi masalah lalu kemudian pengembangan produk yang bisa menyelesaikan masalah tersebut. Baru kemudian teknologi akan membantu memberikan dampak sosial pada komunitas yang akan dibantu. Visi yang sejalan ini membuka banyak pintu untuk kolaborasi antara pemerintah, perbankan, dan social entrepreneurship, dan harapannya dampak sosial yang dihasilkan akan makin meluas.

Baca Juga: Mindful Farming and Harvesting with Blueboots Farm

Share this page

facebook twitter linkedin whatsapp telegram messenger gmail yahoomail outlook