We treasure our heritage : Cerita dari Amed, Bali
Mentari memang belum bersinar, langit kemerahan menandakan sang pagi akan segera datang, namun ladang garam sudah ramai oleh aktivitas para petani. Masih pukul 5 pagi, tetapi ladang garam sudah sibuk, beberapa petani mulai menimba air dari laut yang kemudian dibawa ke lahan garam, naik ke atas tinjungan untuk proses filtrasi. Sedangkan yang lain mulai mengambil hasil saringan dari tinjungan kemudian dijemur menggunakan palungan. Begitulah rutinitas para petani garam di pagi hari yang hanya akan berjalan selama dua jam dari pukul 5 hingga pukul 7.
Terletak di ujung timur Pulau Bali, Dusun Amed, Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang Kabupaten Karang Asem, Provinsi Bali merupakan suatu tempat yang sangat terkenal dengan wisata baharinya (snorkeling dan diving) dengan pemandangan bawah laut yang eksotis. Begitulah yang sebagian besar orang ketahui, namun ternyata Amed juga menyimpan pesona tradisi dan penghasil garam unik, yang berbeda dengan garam kebanyakan.
Garam Amed merupakan bagian dari tradisi yang sudah dilakukan sejak lama. Bahkan pada abad ke 15 garam Amed adalah persembahan yang diberikan untuk Raja Karang Asem. Garam Amed juga pernah menjadi sumber penghidupan utama bagi warga di wilayah Kabupaten Karangasem ribuan tahun silam. Namun kini lahan garam sudah banyak yang beralih fungsi menjadi hotel dan penginapan untuk sarana prasarana Pariwisata. Lahan garam yang berada di pinggir pantai telah dijual dengan harga yang cukup tinggi, karena saat itu, sebelum tahun 2014 harga garam memang masih murah, sehingga petani memilih untuk merelakan lahannya.
Baca Juga: Impact or Profit First?
Saat ini garam Amed bukan lagi garam unik tanpa perlindungan. Pada tahun 2014, dengan Peranan Pak I Nengah Suanda, garam Amed mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis. Pak I Nengah Suanda yang saat ini berperan sebagai ketua MPIG (Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis) Garam Amed mempunyai peran penting dalam inisiasi terbentuknya Kelompok Garam Amed diawal. Saat itu beliau mengumpulkan lima kelompok petani garam, dan membentuk satu kelompok besar, yang bertujuan agar lahan garam yang masih ada setidaknya masih bisa dipertahankan dan tetap ada
Garam Amed sudah menjadi bagian dari tradisi dan jika tidak ada yang melestarikan, maka tradisi ini akan punah seiring perkembangan pariwisata.
Indikasi Geografis memperkuat posisi garam Amed, sehingga kelompok MPIG Garam Amed Bali bisa mengambil garam dari semua petani yang tergabung dengan harga yang layak. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan atau produk karena lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut dan memberikan reputasi, kualitas, karakteristik tertentu pada barang/jasa/produk yang dihasilkan.
Sebagaimana masyarakat Bali pada umumnya yang terkenal tetap melestarikan budaya leluhur, para petani garam Amed yang termasuk dalam MPIG Garam Amed Bali juga melakukan hal yang sama dalam memproduksi garam dengan cara tradisional, mereka tetap melanjutkan cara produksi garam seperti cara para leluhur terdahulu.
Baca Juga: Perjalanan KEJORA Mendorong Edukasi Kesehatan Sejak Dini
Jika kebanyakan garam di daerah di Indonesia diproduksi dengan cara menjemur dan mengkristalkan air laut di atas tanah, maka berbeda dengan apa yang dilakukan pada garam Amed. Dalam pembuatan Garam Amed, air laut yang sudah tersaring akan dijemur menggunakan batang kelapa yang dikenal dengan sebutan Palungan. Proses penjemuran dilakukan selama 4-5 hari hingga terbentuk kristal – kristal garam.
Sebelum dijemur di Palungan, ada beberapa proses yang dilakukan. Air laut akan disaring menggunakan Tinjungan. Tinjungan adalah wadah berbentuk kerucut terbalik, yang diisi dengan tanah dan pasir yang berfungsi sebagai filtrasi tradisional. Tanah yang dinaikkan ke Tinjungan adalah tanah sari yang sudah dikeringkan di lahan garam.
Proses pembuatan garam Amed memang tidak semudah garam lainnya. Mulai dari penyiapan lahan sampai proses kristalisasi garam, setidaknya membutuhkan 9 hari dalam proses pembuatannya. Keunikan garam Amed yang lain juga terletak pada rasanya yang gurih, tidak ada rasa pahit dilidah. Pembuatan garam unik ini tidak dilakukan sepanjang tahun tapi hanya 4 bulan dalam satu tahun, dimulai dari bulan Agustus sampai pada awal Desember.
Saat ini dengan jumlah petani 25 orang, MPIG Garam Amed mampu memproduksi 40 ton per musimnya. Namun, sayangnya belum bisa terjual semua setiap musim. Sebagai MPIG Garam Amed Bali, harapan mereka adalah tradisi ini tidak hilang dan tetap menjadi ciri khas daerah Amed, dan semakin banyak lagi yang tertarik menggunakan garam Amed, serta tergabung dalam komunitas ini.
Baca Juga: Mindful Farming and Harvesting with Blueboots Farm
Jika bukan masyarakat sendiri yang melindungi tradisi dan budaya ini, maka suatu hari garam Amed hanya akan tinggal nama, tidak berbekas.
Untukmu yang masih penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang MPIG Garam Amed, yuk jelajahi websitenya di mpiggaramamedbali.com dan instagram @garam.amedbali. Saat ini, produk dari MPIG Garam Amed juga sudah dapat dibeli secara online melalui market place: tokopedia.com/mpigamed.