Daya Ungkit Kewirausahaan Sosial Menerobos Pandemi
Artikel ini ditulis oleh Bery M, seorang pengamat isu sosial dan penulis buku. Saat ini aktif di beberapa gerakan sosial, Spesialis Branding dan Konsultan Good Corporate Governance (GCG).
Tahun 2020 sungguh sangat menantang bagi publik terutama terkait virus Covid-19 yang mengguncang ekonomi dan psikologis manusia di bumi. Beban yang berat bagi pemerintah dalam mempertahankan kestabilan ekonomi, tidak dapat kita pungkiri harus diapresiasi. Kurang tepat rasanya, kita sebagai anak bangsa hanya sekedar mengeluh, protes dan mengkritik tanpa solusi konstruktif atau malah berpangku tangan berharap keajaiban tanpa usaha optimal. Sudah tiba saatnya pula setiap anak bangsa kita mengingat kembali kearifan budaya leluhur yaitu gotong royong dengan ikut berkontribusi membangun situasi yang kondusif dengan melakukan hal-hal positif secara kolektif.
Menyelisik proyeksi pengangguran tahun ini menurut Kementerian Keuangan, jika dalam skala berat akan mencapai sekitar 12,05 juta jiwa. Artinya, ada tambahan 5 juta pengangguran baru. Sementara dalam skala rendah, pengangguran akan menyentuh angka 2,9 juta jiwa, sehingga totalnya menjadi 9,05 juta jiwa. Hasil proyeksi tersebut, bercermin dari paparan data BPS Indonesia tahun 2019, jumlah pengangguran sekitar 7,05 juta jiwa.
Pertanyaannya, solusi seperti apa yang memberikan efek domino produktif tanpa kehilangan karakter manusiawi kita sebagai makhluk komunal ?
Baca Juga: It’s about the change that you can make: Inclusive Islands Bootcamp Recap
Menjadi pengusaha sociopreneur atau pegiat kewirausahaan sosial merupakan salah satu solusi atraktif yang mampu memberikan dampak lingkaran lebih besar dalam kelompok masyarakat kita yang memiliki gen kepedulian kepada sesama. Pada praktiknya, bentuk kewirausahaan sosial bukanlah hal yang baru di Indonesia. Kita ambil contoh umum seperti koperasi atau credit union (CU) yang dijalankan komunitas agama. Pada prinsipnya, kepemilikan koperasi ataupun CU adalah kepemilikan kolektif anggota, baik pembagian hasil usaha yang harus sesuai dengan kontribusi anggota tersebut. Begitu pula dalam pengambilan keputusan-keputusan terkait pengembangan. Apalagi, salah satu spirit keanggotaan koperasi adalah kemauan menolong diri sendiri serta menggerakkan kemandirian dan otoaktiva. Begitu pula dengan CU yang salah satu pilarnya adalah solidaritas.
Hebatnya lagi, dalam bidang kewirausahaan sosial yang berbeda, bangsa kita boleh berbangga, telah pernah meraih penghargaan prestisius tahun 2011 yaitu Magsaysay Award yang sering disebut Nobel-nya Asia. Tri Mumpuni seorang tokoh wanita mendapatkan pengakuan sebagai inisiator penerang bagi puluhan desa yang tidak terjangkau listrik sehingga signifikan meningkatkan income kaum proletar. Skala internasional, dunia juga mengenal Muhammad Yunus peraih Nobel sebagai pendiri Grameen Bank, yang memberikan kredit skala mikro bagi usahawan miskin yang tidak mampu meminjam melalui bank konvensional. Kedua tokoh tersebut membuktikan, bahwa selalu ada cara baru ataupun terobosan dalam menyelesaikan problem sosial, tidak melulu model bantuan langsung atau konsep program kartu PraKerja yang sekarang banyak dikritik para ekonom dan pengamat sosial.
Contoh di atas juga semakin memperkuat keyakinan kita, bahwa motif kewirausahaan sosial lebih mengutamakan dampak sosial dan berfokus pada alokasi sumber daya pada masalah sosial yang diangkat bukanlah hal muskil dijalankan. Apalagi, hal tersebut lebih mengenai keterpanggilan dalam pribadi pelakunya melihat situasi ketidakadilan. Tentu saja ini berbeda dengan bisnis komersial yang lebih mengutamakan profit sehingga penggerak awalnya adalah bagaimana memuaskan konsumen sehingga meraup keuntungan besar.
Meningkatkan produktivitas warga dengan strategi kewirausahaan sosial
Beban ganda pemerintah di tengah pandemi yaitu mengatasi buruknya efek Covid-19 yang telah menelan korban jiwa lebih 3.873 pada hari kamis 16 Juli 2020 dan sudah tercatat di semua provinsi serta menjaga aktivitas ekonomi yang produktif agar tidak terjerembab chaos di tengah masyarakat, memang harus memiliki upaya terobosan. Menghadapi situasi sulit tidak lazim saat ini, para policy maker harus memeras pikiran dan tenaga dengan mengeluarkan kebijakan yang komprehensif.
Stimulus ekonomi memang telah dilaksanakan pemerintah, terlihat distribusi kebutuhan pokok relatif stabil dan bantuan kepada masyarakat berdampak. Akan tetapi, aktivitas ekonomi harus lebih progresif lagi, mengingat proyeksi pandemi baru reda pada tahun 2022. Pertanyaannya, apakah negara akan sanggup mempertahankan stabilitas ekonomi hingga 2 tahun kedepan, mengingat pengangguran membludak yang rentan terjadi permasalahan sosial seperti kejahatan akibat kemiskinan baru? Apalagi, strategi pemulihan ekonomi pemerintah masih banyak dianggap rigid berbagai kalangan, karena lebih mengandalkan hutang jangka panjang dan bantuan.
Baca Juga: Teknologi Hapus Hambatan untuk Membangun Indonesia
Pemerintah saat ini jangan gengsi mengadaptasi strategi baru dalam menggenjot pembangunan hingga ke akar rumput dengan mendorong lahirnya para wirausaha sosial dengan memberikan kesempatan bagi pelakunya. Pemerintah melalui kementerian terkait perlu menginisiasi lebih banyak lagi wirausahawan sosial baru melalui inkubator wirausaha sosial, kompetisi, dana hibah, insentif, penghargaan dan berbagai program lainnya sebagai lingkaran ekosistem terpadu seperti turut melibatkan jejaring perusahaan negara, venture capital, angel investor dan lain sebagainya, sehingga menciptakan lebih masif lagi inisiator wirausaha sosial khususnya lagi bagi kaum muda. Mengapa kaum muda perlu dilibatkan? Seperti kita ketahui, bonus demografi usia produktif kaum muda usia 17 hingga 35 tahun telah mencapai 100 juta lebih di Indonesia (Data KPU, 2019).
Menurut Prof. Fasli Jalal yang pernah menjabat sebagai kepala BKKBN, salah satu optimalisasi bonus demografi adalah dengan membuka lapangan kerja yang relevan yang didukung kebijakan investasi pemerintah dan swasta agar lapangan kerja mampu menyerap tenaga produktif tersebut. Model kewirausahaan sosial, mampu menjawab tantangan tersebut, karena selain memberikan dampak sosial juga menjangkau ekonomi akar rumput sehingga mengurangi kesenjangan income.
Jika semakin banyak generasi muda terlibat, bukan tidak mungkin kita akan menemukan ikon-ikon kewirausahaan sosial baru yang memberikan efek gigantis bagi pertumbuhan ekonomi sekalipun dalam situasi sukar pandemi.
Kita tentu masih ingat bagaimana dahsyatnya pelaku usaha kecil menengah pada tahun 1998 dan 2008 mampu bangkit dan justru menjadi penggerak ekonomi yang handal. Bukan tidak mungkin pula, terobosan pemerintah dalam mendorong lahirnya wirausaha sosial merupakan jalan baru mengangkat keterpurukan ekonomi akibat pandemi sekaligus memanfaatkan momentum dan energi generasi muda sebagai estafet pembangunan yang lebih kreatif & inovatif.
Baca Juga: Peran Social Entrepreneurship dalam Mendukung Inklusi Keuangan
Bagi generasi muda, khususnya bagi yang masih studi di kampus, ini juga merupakan kesempatan baik mengaplikasikan ilmu di tengah masyarakat. Salah satu kewirausahaan sosial yang digerakkan kaum muda kampus dan yang mengusung pemberdayaan masyarakat desa adalah Knowlej. Salah satu lini usaha sosialnya turut meningkatkan pendapatan petani dengan membeli dan memasarkan produk hasil usaha tani. Ada juga Pak Tani Digital sebagai marketplace hasil pertanian.
Selain itu, banyak juga ikon muda wirausaha sosial, turut berpartisipasi dalam pengolahan sampah yang terkesan tidak keren jika dibandingkan profesi kantoran ataupun kelas usaha. Padahal sebenarnya sampah menjadi sumber cuan, dimana kita tahu Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang sampah terbesar di dunia, yang tentu saja tidak cukup diselesaikan dengan cara-cara biasa. Tentu kita masih ingat pepatah yang mengatakan di balik krisis selalu ada kesempatan. Peluang masalah sampah tersebut, ditangkap salah satu aplikasi usaha rintisan (Startup) Mountrash, yang memiliki dampak sosial yaitu memanfaatkan limbah sampah dan memilahnya sehingga memiliki nilai ekonomi. Perusahaan rintisan ini akan mendatangi rumah anda dan membeli barang-barang yang bagi masyarakat dianggap rongsokan semata seperti botol-botol plastik dan kardus. Kontribusi pegiat usaha sosial terlihat menggeliat saat ini dalam mengatasi problem sampah masyarakat. Masih banyak lagi ragam atau bidang usaha sosial yang bisa dilaksanakan warga, misal dengan merujuk pada program SDGs. Konklusinya, kita sebagai warga harus kritis dan berani mengambil tindakan melihat problem di tengah lingkungan terlebih dahulu.
Kesempatan ternyata ada di mana saja bagi yang jeli mengamati problem sosial. Karena itu kita juga berharap, media mainstream juga harus turut serta sebagai corong informasi positif agar tidak melulu menyebarkan berita kurang kondusif. Bukankah media juga memiliki fungsi mencerdaskan publik?
Kewirausahaan sosial menjadi salah satu alternatif solusi progresif sekaligus produktif melewati pagebluk virus, dimana pemerintahan, stakeholders dan warga diuji keberaniannya melipatgandakan terobosan membongkar cara-cara rigid dan konvensional dalam menghadapi efek negatif pandemi yang menghantam segala sendi perekonomian. Kelak, di masa depan, ketika pandemi tersebut usai, siapa saja yang lolos dan mampu bangkit akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai manusia tangguh dan pantas diberikan label sebagai “Pahlawan Krisis Covid-19”
Bung Hatta pernah mengingatkan, “Apa yang dilakukan oleh orang setelah mendengar suatu khotbah, jauh lebih penting dari apa yang dikatakannya tentang khotbah itu.”
Mana, usaha sosialmu, kawan?