Consider These 5 Things Before Implementing Your Tech-based Solution
Teknologi adalah salah satu isu yang penting bagi social entrepreneurs dewasa ini. Banyak social entrepreneurs yang ingin menawarkan teknologi terkini untuk mencapai visi social enterprise untuk memberikan dampak sosial/lingkungan. Namun, banyak pula yang pada akhirnya merasa solusi teknologi yang mereka tawarkan tidak membawa banyak perubahan atau akhirnya malah tidak digunakan oleh komunitas sasaran.
Bagaimana seharusnya social entrepreneurs memposisikan teknologi? Apa saja, sih, yang harus dilakukan agar teknologi dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial? Apakah aplikasi adalah teknologi yang tepat untuk semua masalah sosial? Di event Tech+Good: How do You Pick the Right Tech to Amplify Your Impact Kamis, 10 Agustus lalu, PLUS bekerja sama dengan EV Hive mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Daniel Oscar Baskoro, Innovation Project Assistant of UN Pulse Lab, William Gondokusumo, CEO of Campaign.com, dan Lisa Ayu Wulandari, Co-Founder of Limakilo berkesempatan untuk berbagi pengalaman dari perusahaan teknologinya masing-masing.
Setidaknya, ada lima hal yang perlu social entrepreneurs pikirkan sebelum menentukan teknologi yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial.
1. Technology is not only about Apps
Baca Juga: Insights from ARISE 2017
Apa yang ada di benak Anda saat mendengar kata teknologi untuk menyelesaikan masalah sosial? Website? aplikasi? aplikasi mungkin akan menjadi jawaban favorit kebanyakan orang. Menjamurnya aplikasi dengan berbagai fungsi di mobile phone menunjukkan ketertarikan terhadap aplikasi development yang tinggi. Namun, semua pasti setuju jika teknologi sebenarnya bukan hanya berupa aplikasi saja.
Oscar misalnya, yang telah berkecimpung dengan riset dan pemecahan masalah sosial melalui teknologi sejak masih sekolah, mengimplementasikan teknologi sederhana untuk menyelesaikan masalah. Pada saat gempa besar sekaligus bahaya Gunung Merapi melanda Yogyakarta beberapa tahun lalu, Oscar dan timnya mengembangkan Google Glass (wearable device) untuk mempercepat informasi bencana, riwayat, solusi, serta rencana pasca bencana. Dia juga pernah menggunakan drone untuk memetakan kadar pencemaran udara. Tidak perlu membuat aplikasi yang berbiaya mahal, dengan bermodal Rp 1 juta untuk biaya sewa drone dan pizza untuk warga sekitar, Oscar bisa memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Anda juga bisa mencontoh Limakilo, yang awalnya hanya menggunakan Google Spreadsheet dan Whatsapp sebagai sarana untuk memutus supply chain panjang yang merugikan kalangan petani. Dengan teknologi ini, mereka bisa memantau produk langsung dari para petani dan mencarikan konsumen yang membutuhkan komoditi tersebut. Atau coba tengok www.usahasosial.com/map, di situ Anda akan menemukan peta usaha sosial di Indonesia yang dilengkapi dengan deskripsi dan pembagian sesuai sektor aktivitasnya dalam satu halaman saja. Proyek dengan budget 0 rupiah ini adalah hasil kolaborasi antara PLUS dengan UN Pulse Lab untuk memudahkan social entrepreneurs menemukan dan berkolaborasi satu sama lain.
2. Masalah Itu Dicari, Bukan Dibikin
Baca Juga: Design Thinking untuk Ciptakan Dampak Sosial
Sebelum memutuskan untuk menggunakan teknologi dengan biaya tinggi, pastikan Anda sudah menentukan perubahan apa yang akan Anda buat. Anda harus terbuka dengan solusi-solusi lain yang bisa jadi sangat berbeda dengan apa yang Anda rencanakan di awal. Misalnya, untuk mengampanyekan dan mengajak orang-orang di kota untuk hidup sehat, jangan-jangan konsumen tidak butuh aplikasi, melainkan butuh sepeda karena itu cara paling fun untuk hidup sehat, misalnya. Pak Presiden Jokowi yang suka membagi-bagikan sepeda akan lebih solutif dibandingkan Anda dengan aplikasi Anda. Teknologi Anda harus menyelesaikan masalah setelah dicari, bukan dibikin. Seperti yang diungkapkan Oscar, “Soalnya banyak pengalaman ketemu temen-temen startup yang gagal, itu karena visi dan misinya dari awal bukan dari masalah. Mikirnya ini bakal sukses, ini bakal apa, tapi ga tau masalahnya apa. Itu yang paling masalah.”
Beberapa langkah ini dapat Anda lakukan untuk menentukan masalah, sebenarnya tidak berbeda jauh dari saat Anda mengerjakan tugas sekolah atau kuliah dulu:
a. Temukan latar belakang; definisikan masalah yang akan Anda temukan, masalah ini bukan hanya asumsi belaka atau diada-ada, tapi masalah yang benar-benar orang rasakan dan temukan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pikirkan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut; setelah Anda tahu masalahnya, tentukan solusi yang dilatarbelakangi oleh solusi tersebut dan dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Baca Juga: WeCare.id Berangkat ke Berlin sebagai Finalis Utama dari Bayern Aspirin Social Innovation Award
c. Pilih metode; setelah Anda tahu masalah dan solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, langkah selanjutnya adalah memikirkan bagaimana cara-cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan solusi tersebut menjadi nyata.
d. Implementasikan; tentunya setelah Anda memiliki berbagai cara atau metode untuk menyelesaikan masalah tersebut, Anda harus mencoba untuk mempraktikkan solusi tersebut secara nyata, agar Anda dapat mengetahui seberapa efektif solusi tersebut dan bisa mendapat feedback dari berbagai metode yang telah dijalankan.
e. Tarik kesimpulan; dari implementasi solusi-solusi yang telah Andakembangkan, tentu saja banyak feedback yang didapatkan. Feedback tersebut dapat menjadi referensi untuk mengembangkan solusi lainnya atau mengembangkan solusi yang sudah ada.
3. Technology is Not a Goal, It is Just Merely a Tool
Menghargai dan memastikan kegiatan sebelum dan setelah teknologi diterapkan berjalan dengan baik adalah proses yang harus dilakukan dalam memutuskan teknologi. Beberapa tips dari William mengenai apa yang harus diperhatikan sebelum dan sesudah mengimplementasikan teknologi dalam uraian ini bisa Anda contoh. Sebelum Anda memulai, pertama, Anda harus memastikan Anda merekrut tim pengembang (development team) yang benar-benar Anda kenal. Sebisa mungkin gunakan sumber daya yang benar-benar Anda kenal dan hindari outsource. Kalaupun anda memutuskan untuk outsource, dampingi terus prosesnya sehingga tidak jauh dari apa yang ingin anda capai. Kedua, mulai dengan satu operating system. Langsung mengembangkan website dan aplikasi bukan merupakan permulaan yang sehat. Dengan memulai di satu OS, Anda bisa mengevaluasi respon dan menyempurnakannya di OS yang lain, jika Anda membutuhkannya. Ketiga, look for the best practices. Terus belajar dan temukan bagaimana cara terbaik untuk mengembangkan teknologi Anda.
Sesudah teknologi diimplementasikan, terus lakukan 4 hal ini: review, test, communicate, keep note of OS update. Cek terus solusi teknologi Anda. Lihat apakah teknologi berfungsi dengan baik dan bermanfaat bagi pengguna teknologi Anda. Komunikasikan atau sebarkan informasi mengenai teknologi yang baru Anda ciptakan dan cari tahu bagaimana respon pengguna. Menanyakan pada pengguna mengenai baik dan buruknya teknologi Anda dapat bermanfaat untuk mengevaluasi teknologi sekaligus kinerja tim Anda. Komunikasikan temuan Anda dengan baik kepada tim sehingga bisa terus lakukan perbaikan. Terakhir, jangan lupa untuk merekam semua update yang telah Anda dan tim lakukan.
4. Human to Human Connection is the Key
Menggunakan teknologi tidak seharusnya menjauhkan pengusaha dari konsumennya. Justru, teknologi harus dibersamai dengan interaksi dengan pengguna atau komunitas yang akan menerima manfaat dari teknologi Anda. Menurut William sebagai ahlinya dalam membuat campaign, beginilah proses yang seharusnya dilakukan oleh pengusaha:
Manusia adalah inti dari usaha Anda. Selalu mulai dengan ide apa yang ingin Anda sampaikan kepada publik. Ide ini akan menjadi nyawa bagi usaha atau solusi Anda. Kemudian, tentukan siapa yang akan melaksanakan hal tersebut dan bagaimana bentuk yang akan Anda sampaikan. Lalu, jangan lupa untuk membangun komunitasnya terlebih dahulu. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan orang-orang terdekat Anda yang karakteristiknya sama dengan sasaran teknologi Anda.
5. Let Community Feel the Pain First
Terkadang, dalam memperkenalkan teknologi kepada pengguna, salah satu kendala terbesarnya adalah mengajarkan bagaimana teknologi digunakan dan mengapa mereka harus menggunakan teknologi ini. Apalagi jika sasaran produk teknologi ini adalah masyarakat dengan level pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah, seperti yang dihadapi oleh Limakilo.
Limakilo sebagai social enterprise yang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan supply chain di kalangan petani harus mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi yang mereka tawarkan. Lisa dari Limakilo menyatakan baru mengembangkan aplikasi setelah satu tahun usahanya berdiri. Sebelum menggunakan aplikasi, Limakilo menggunakan buku jurnal dan pencatatan konvensional lainnya. Semua proses dilakukan secara manual. Di awal, bagi masyarakat cara ini lebih mudah diterima. Namun, semakin banyak transaksi yang kemudian dilakukan dalam perkembangannya membuat cara ini dirasa tak lagi efektif bagi para petani. Semakin banyak produk yang harus mereka foto, catat, dan laporkan secara manual. Mengajarkan cara manual terlebih dahulu pada komunitas adalah strategi Limakilo untuk memperkenalkan “susahnya” terlebih dahulu. Setelah itu, barulah Limakilo memperkenalkan aplikasinya kepada petani dan menunjukkan betapa aplikasi memudahkan hidup mereka.
Diskusi kali ini mengajarkan para pengusaha untuk selalu peduli dan mau membuka mata terhadap apa yang diinginkan oleh konsumen, mencari tahu apa yang penting bagi mereka, dan tidak self-centered dalam menawarkan solusi adalah kuncinya. Bisa jadi dengan memperluas wawasan, ternyata sudah ada orang lain yang menawarkan solusi serupa. Anda bisa berkolaborasi dengan mereka daripada membangun dari nol. Tujuan social enterprise adalah menyelesaikan masalah sosial, tidak untuk dicap sebagai tech-savvy saja, kan?