Event Recap: Innovating Sustainable Food Business
Siapa di sini yang tidak butuh makan?
Jawabannya sudah pasti, tidak ada. Makanan adalah kebutuhan utama supaya manusia bisa hidup dan berfungsi dengan normal. Hal inilah yang menyebabkan bisnis yang berkaitan dengan makanan adalah bisnis yang tidak penah mati, selama pengusaha mau sedikit berinovasi dengan bisnisnya tersebut. Namun, seberapa banyak dari kita, sebagai individu maupun pelaku usaha, yang memahami bahwa terdapat permasalahan mendasar dari kebutuhan dasar manusia tersebut?
Sejak dari produksi hingga distribusi makanan hingga siap dikonsumsi, terdapat banyak pihak yang bermain, dan masing-masing memiliki tantangannya. Hasil alam yang melimpah namun tidak termanfaatkan dengan baik sehingga masih banyak yang kelaparan di dunia, rendahnya pendapatan para petani dan peternak sebagai kunci utama produksi makanan karena permainan tangan-tangan tidak bertanggung jawab, penurunan diversifikasi tanaman yang dihasilkan pertanian dunia, pola makan yang homogen, dan sisa makanan yang terbuang sia-sia merupakan beberapa tantangan yang muncul berkaitan dengan makanan.
Di Impact Nights 29 November 2017 lalu, PLUS berkolaborasi dengan Impact Hub Jakarta @Coworkinc dan Hivos kembali mengadakan Impact Nights bertajuk Innovating on Sustainable Food Business. Malam hari itu, kami mengundang para pelaku bisnis berkaitan dengan makanan dari hulu ke hilir untuk berbagi pengalaman mengenai bagaimana inovasi yang mereka lakukan dengan bisnis mereka untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hadir dalam acara tersebut Marvin Kolibonso, Founder Sayurbox, Esterlyta, Founder Moloka Goat Milk, dan Lili Nur Indah Sari, Founder SiMaggie sebagai pembicara dan Queentries Regar dari Hivos sebagai moderator.
Baca Juga: Teknologi Hapus Hambatan untuk Membangun Indonesia
Apa itu Sustainable Food
Singkatnya, menurut Queen dari Hivos, Sustainable Food adalah praktik pengelolaan yang bertanggung jawab sejak masih di kebun hingga sampai ke piring-piring makan. Hal ini berkaitan dengan SDG nomor 2 (Zero Hunger), 3 (Good Health and well-being), 13 (Climate Action), dan 15 (Life on land). Upaya-upaya inovatif yang dilakukan berkaitan dengan hal ini memiliki tujuan utama yaitu memberikan masyarakat lebih banyak pilihan makanan sehat dan affordable serta mengedukasi masyarakat tentang sistem makanan sehingga bisa ikut mengadvokasikan regulasi yang lebih bersahabat.
Inovasi Hulu ke Hilir
Setiap individu bisa membuat perbaikan melalui inovasi dan teknologi, walau sekecil apapun bentuknya dan sekecil apapun lingkupnya. Seperti yang dilakukan Moloka Goat Milk, Sayurbox, dan SiMaggie, yang berfokus pada hal-hal kecil yang bisa mereka manfaatkan di sekitar mereka.
Konsumsi susu di Indonesia cukup besar dan masih didominasi oleh susu sapi, yang 79% masih diimpor dari luar negeri. Susu kambing hampir tidak pernah dilirik, seiring dengan stereotype bau, jorok, dan lain-lain, padahal susu kambing sendiri memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan juga bagi perawatan kecantikan. Lyta, founder Moloka Goat Milk, terinspirasi dari kelebihan-kelebihan susu kambing yang belum banyak diketahui masyarakat, menginisiasi penciptaan produk dari susu kambing yang lebih terdiversifikasi, seperti sabun, masker, dan dairy product seperti keju, yoghurt.
Moloka bekerja sama dengan peternak lokal untuk menyediakan produk dari kambing, mulai dari susu hingga daging. Moloka mengusahakan agar produk olahan dari kambing dapat diterima oleh masyarakat dengan menjaga bahan-bahan pokok dan pengemasan produk. Dengan begitu, Moloka dapat meningkatkan pendapatan petrenak kambing, memberi lapangan pekerjaan bagi warga sekitar (daerah Parung), dan memberi alternatif bagi susu sapi yang supply dalam negerinya tidak dapat memenuhi demand, serta mengampanyekan green and healthy lifestyle.
Baca Juga: Pendapat Investor Mengenai Wirausaha Sosial
Dari segi distribusi produk, Sayurbox mengambil peran. Marvin, founder Sayurbox, melihat fakta bahwa distribusi produk makanan di Indonesia sangat tidak efektif. Sebagai gambaran, petani di desa biasa menjual singkong seharga Rp 600 per kg sedangkan harga di pasar bisa mencapai Rp 11.000 per kg. Selisih harga kedua belah pihak mencapai 1.700%. Kompleksitas supply chain produk makanan yang harus melewati tengkulak-tengkulak yang tidak bertanggung jawab membuat harga di konsumen dan pendapatan petani tidak sepadan.
Sayurbox hadir untuk memutus rantai panjang produk makanan melalui aplikasi yang memberi kesempatan bagi konsumen untuk membeli—atau bahkan memesan sayuran tertentu—langsung dari para petani. Sayurbox memberikan informasi dan jangkauan pasar yang lebih luas bagi para petani dan di sisi lain membantu konsumen untuk mendapatkan produk sayuran yang masih segar yang langsung diantar ke depan pintu rumah.
Begitu makanan sampai di tangan konsumen, apakah masalah selesai? Ternyata tidak. Sepertiga dari makanan yang telah diolah akan berakhir sebagai sampah sisa makanan. Lili, founder SiMaggie, yang menyadari hal ini berpikir mengenai bagaimana menyelesaikan masalah ini. Beruntung, pekerjaannya di sebuah NGO mempertemukan Lili dengan peternak-peternak lele yang ternyata memiliki masalah dengan pakan ikan. Pakan lele terbuat dari ikan yang diolah menjadi bubuk pakan. Setelah ditelusuri, sekitar 25% dari produksi ikan di dunia digunakan untuk konsumsi tidak langsung, dan sebagian besarnya adalah untuk pakan ikan. Dengan kata lain, manusia bersaing dengan ikan dalam hal konsumsi ikan itu sendiri.
Terpapar dengan fakta-fakta ini, Lili kemudian memikirkan teknologi untuk membuat alternatif pakan ikan selain dari ikan. Lili kemudian memanfaatkan sisa makanan yang dia gunakan untuk menumbuhkan maggot/larva lalat black soldier. Maggot ini kemudian diolah menjadi pupuk dan maggot oil, dan setelah melalui proses pengeringan dan penggilingan bisa menghasilkan pakan ikan (maggot meal) yang nutrisinya tidak kalah dengan ikan. Itulah cerita di balik berdirinya SiMaggie, platform transformasi sisa makanan menjadi bahan pakan hewan yang ramah lingkungan. Dua masalah, yakni sisa makanan dan produksi ikan, bisa terselesaikan dengan satu solusi.
Baca Juga: Apa Saja yang Akan Dipelajari di Inclusive Islands?
Beberapa hal yang dapat djadikan pembelajaran dari pembicara di Impact Nights kali ini
“Jangan takut berkolaborasi dengan pihak lain. SiMaggie dalam perjalanannya bekerja sama dengan Baramuba, organisasi pemuda lokal nonprofit yang banyak membantu dalam bermitra dengan peternak lokal.” –Lili Nur Indah Sari
“Kenali stage bisnis dalam menentukan strategi bisnis yang akan diambil. Misalnya, Sayurbox selalu berfokus pada demand. Kami cari target pasar sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuan supply kami sekarang, baru kemudian kami tingkatkan supply-nya pelan-pelan” –Marvin Kolibonso
“Selalu ada cara untuk meningkatkan awareness terhadap kelebihan produk kita. Dulu semua orang selalu menyangsikan produk dari kambing, tapi begitu kita coba ngobrol sama konsumen-konsumen kecil dan membuat kelas pembuatan sabun, serta banyak berinteraksi dengan komunitas organik, kesadaran itu muncul dan pelan-pelan produk ini pun meluas.” –Esterlyta
Impact Nights kali ini juga direkam secara live di Fanpage PLUS – Platform Usaha Sosial.