Rapat Paripurna DPR Membahas RUU Kewirausahaan Sosial
TEMPO.CO, Jakarta – Rapat Paripurna DPR, Selasa, 1 Maret 2016, menyetujui Rancangan Undang-Undang Kewirausahaan Nasional dibahas menjadi undang-undang. Menurut anggota Komisi VI, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, RUU Kewirausahaan Nasional menjadi kebutuhan dan mendesak untuk disahkan.
“Tidak hanya kebutuhan negara, tapi juga kepentingan menumbuhkan ekonomi yang berbasis masyarakat,” kata politikus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini. “Kami membuat regulasi yang komprehensif yang berdasarkan kebutuhan pelaku usaha kecil menengah untuk melindungi dan menjadikan payung hukum. Dan mereka bisa meningkatkan daya saing di era kompetensi sekarang,” kata dia.
Menurut Neng Eem, aspek penting dari kesuksesan kewirausahaan sosial bukanlah dengan menghitung jumlah profit. Yang lebih penting lagi bagaimana wirausaha menghasilkan nilai-nilai sosial dalam mendukung tercapainya kesejahteraan. Kewirausahaan sosial, kata dia, menitikberatkan keterlibatan masyarakat kurang mampu. “Program kewirausahaan sosial ini secara riil harus diimplementasikan.”
Neng memambahkan, semangat dari kewirausahaan sosial ini adalah menciptakan wirausaha baru yang kreatif, produktif, inovatif, dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Baca Juga: 32 Socially Innovative Ideas to Watch for in Asia 2017
“Hal ini diharapkan mampu merespons tantangan sosial masa kini, di mana setiap orang dapat menjadi agen perubahan dalam mengatasi masalah sosial,” katanya.
Setelah disetujui dalam rapat paripurna, RUU Kewirausahaan Nasional yang menjadi inisiatif DPR ini akan dibahas untuk menjadi undang-undang. Seluruh fraksi sepakat bahwa rancangan undang-undang tersebut dibahas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2015 jumlah pengangguran mencapai 7,56 juta orang atau sebesar 6,18 persen dari total angkatan kerja. Sedangkan data Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan, rasio wirausaha di Indonesia baru sebesar 1,65 persen terhadap total populasi. Jumlah tersebut kalah jauh dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand yang sudah mencapai di atas 4 persen.
Koalisi Masyarakat Kewirausahaan Sosial berpandangan, Indonesia membutuhkan lebih banyak wirausaha sosial. “Kewirausahaan sosial dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat marjinal di lokasi tertentu, yang pada umumnya belum memiliki akses terhadap program pemerintah,” kata Veronica Colondam, Founder and Chief Executive Officer YCAB Foundation.
Baca Juga: SE Class 3: Time to Make It Happen!
Veronica menjelaskan, pentingnya kewirausahaan sosial masuk dalam RUU Kewirausahaan Nasional agar rumusan itu bisa memberikan solusi dan menciptakan dampak sosial yang lebih berkelanjutan. Dalam hal kewirausahaan sosial, menurutnya, masih terdapat ketidakjelasan status hukum terkait kepemilikan dan peruntukan dana-dana sosial milik masyarakat.
“Jadi ini adalah kegiatan usaha yang memiliki misi untuk menyelesaikan masalah sosial, lewat pemberdayaan dengan dampak terukur, dan mereinvestasikan sebagian besar hasil usaha untuk mendukung misi,” kata Veronika, yang bertandang ke kantor Tempo, Selasa 1 Maret 2016.
Chrisma A. Albandjar, anggota Koalisi itu, menambahkan kewirausahaan sosial adalah kombinasi dari lembaga non profit dan bisnis. Penggerak utama lembaga non profit seperti yayasan adalah untuk mencapai nilai sosial yang bergantung pada 100 persen donasi. Adapun penggerak utama bisnis adalah mencapai finansial dengan memprioritaskan 100 persen pada keuntungan.
“Wirausaha sosial berada di tengah kedua kepentingan dua kutup tersebut. Kewirausahaan sosial harus punya impact investing, mencapai dampak sosial terukur sekaligus keuntungan finansial,” ujar Chrisma.
Baca Juga: Invest in Kindness on Social Entrepreneurship Meet Up 2
Aturan pembentukan kewirausahaan sosial, kata dia, masih belum mendapat kepastian hukum. Namun, Chrisma berharap, konsel kewirausahaan sosial masuk dalam ini rancangan undang-undang yang tengah dibahas di DPR.