PLUS | Platform Usaha Sosial

social entrepreneurship

Mengapa Social Entrepreneurship Penting?

Social entrepreneurship hadir untuk menutup celah yang tidak dapat atau tidak sempat disentuh oleh pemerintah maupun pihak swasta. Social entrepreneurship muncul untuk menyelesaikan masalah sosial dengan langsung terjun ke komunitas. Setidaknya, begitulah anggapan orang-orang mengenai social entrepreneurship. Bagaimana dengan pendapat orang-orang yang “bermain” di dalam ekosistem social entrepreneurship? Apa kata inkubator, investor, dan legal expert, social entrepreneurs sebagai “pemain” mengenai social enterprise? Bagaimana social entrepreneurship bisa memberikan dampak yang nyata dan berkelanjutan?

Di artikel ini akan disajikan perspektif dari Romy Cahyadi (CEO UnLtd Indonesia), Natalia Rialucky (Head of Impact Investing ANGIN), Gita Syahrani, (Co-Founder Socolas/Social Corporate Law Society), Gigih Rezki Septianto (Co-Founder WeCare.id) mengenai social entrepreneurship bagi mereka. Berikut adalah hasil diskusi online dari masing-masing pihak yang berhasil kami rangkum.

 

“Apakah social entrepreneurship bagi mereka?”

Romy dari CEO UnLtd, menyatakan sering merujuk pada bagaimana pemerintah Inggris menjawab apa itu social entrepreneurship. Menurut definisi pemerintah Inggris, a social enterprise is a business with primarily social objectives whose surpluses are principally reinvested for that purpose.

Banyak definisi tentang wirausaha sosial. Akan tetapi, di antara banyak definisi, ada beberapa hal yang umumnya disepakati. Misalnya, sebuah wirausaha sosial mesti punya kegiatan bisnis. Ada produk atau jasa yang ditawarkan kepada pelanggan/pengguna dan ada pihak yang membayar produk atau jasa tersebut. Dari aspek ini, lembaga amal yang mengandalkan pada donasi atau sumbangan semata, biasanya tidak dianggap sebagai wirausaha sosial.
 

Aspek lain yang bisa dilihat dari wirausaha sosial adalah laba. Karena tujuan wirausaha sosial adalah penyelesaian masalah sosial/lingkungan, maka sudah seharusnya sebagian besar laba ditujukan untuk misi tersebut. Dari aspek ini, perusahaan yang melakukan CSR tidak bisa dikategorikan sebagai wirausaha sosial, sebab

1. Tujuan perusahaan tersebut (umumnya) bukanlah untuk menyelesaikan masalah sosial, melainkan murni akumulasi laba
2. Persentase laba yang digunakan untuk kegiatan CSR biasanya sangat kecil dibandingkan laba total perusahaan.

 

“Apa yang membuat sebuah usaha bisa disebut sebagai usaha sosial?”

Menurut Ria dari Angel Investment Network Indonesia (ANGIN), being sustainable atau memiliki penghasilan untuk menopang kegiatan usahanya dan misi sosialnya sangatlah penting bagi social enterprise. Dari perspektif investor, untuk membedakan startup mana yang bisa kita kategorisasikan sebagai social enterprise dan cocok untuk pendanaan impact investor, aspek-aspek inilah yang akan ditinjau:

  • Intent: Tujuan dari founder adalah untuk menyelesaikan masalah sosial. Mendapatkan keuntungan adalah cara untuk mencapai visi, bukan tujuan akhir itu sendiri.
  • Use of proceeds: Keuntungan yang didapatkan dari usaha digunakan kembali untuk kegiatan bisnis sosial.
  • Tracking impact: Social enterprise harus memiliki komitmen dan invest resources dalam pengukuran social impact yang baik sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada investor.

Terkadang, orang juga akan bingung membedakan SE dengan NGO. Sebagai tambahan dari PLUS, yang membedakan SE dengan LSM/NGO yaitu biasanya sumber pendapatannya, biasanya LSM/NGO mendapatkan dana dari donasi, grant atau bantuan, tetapi Social Enterprise nafasnya bertahan dari bisnis atau penjualan. Jadi, memang seperti pada bisnis pada umumnya yang mencari profit, tetapi juga memiliki misi yang sama dengan NGO/LSM. Seringkali, Social Enterprise berjalan bergandengan tangan dengan NGO/LSM yang biasanya lebih paham bagaimana melakukan pendekatan kepada masyarakat.
 

“Tanpa harus menjadi social enterprise, bukankah setiap bisnis pasti punya impact positif, misal dengan CSR?”

Menurut Mas Romy, sebenarnya, konsep CSR yang benar adalah melakukan internalisasi, atau menanggung semua biaya dari semua eksternalitas proses bisnis. Contoh eksternalitas adalah pencemaran lingkungan yang dihasilkan semua bisnis yang melakukan ekstraksi sumber daya alam. CSR yang benar bagi perusahaan ini adalah melakukan restorasi lingkungan. Apa yang diambil dari alam, dikembalikan ke alam. Maka, bagi-bagi sembako, pulang mudik gratis, dan lain-lain yang tidak mengganti biaya eksternalitas bisnis tidaklah relevan. CSR yang dilakukan dengan benar oleh perusahaan akan menjadikan bisnis sebagai socially responsible business, bukan social enterprise.

Senada dengan Romy, Gita memberikan referensi artikel menarik mengenai ini. Artikel lebih lanjut mengenai internalisasi dana CSR dapat dilihat di link: http://bit.ly/NewTypeofCSR
 

Road to Sustainability Through Social Entrepreneurship

Salah satu poin penting dari Social Enterprise adalah keberlanjutan atau sustainability. Biasanya dana dan aktivitas CSR / Charity / Donasi hanya dilakukan dalam satu kali saja, atau one shot impact / activity, sementara bagi teman-teman yang berkecimpung sebagai wirausaha sosial, menjalankan bisnis sekaligus misi sosial merupakan makanan dan misi personal sehari-hari. 

Seperti yang diungkapkan oleh Gigih, “Motivasi awal saya bukan untuk ‘menjadi sociopreneur’, tapi lebih ke menikmati saja proses-prosesnya, I feel really ‘whole’ ketika ide atau hal-hal yang kami percaya bisa termanifestasikan secara nyata melalui apa yang kami lakukan dengan WeCare.id. And for that, we’re really driven, excited & look forward to do more things in this pursuit.”

Diskusi selengkapnya dapat dilihat di Diskusi Online PLUS!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this page

facebook twitter linkedin whatsapp telegram messenger gmail yahoomail outlook

Stay Updated

Get the latest update about Indonesia Impact Community. Subscribe to our weekly newsletter now!