PLUS | Platform Usaha Sosial

Cerita Du’Anyam Membantu Komunitas Ibu-ibu Usia Mengandung di 15 Desa di Flores

oleh Winda Senja Wedari
Sorotan, Kisah Sukses 13 menit baca

Beberapa saat yang lalu Tim PLUS berkesempatan ngobrol bareng Ayu dan Melia, dua dari lima perempuan inspiratif pendiri Du’Anyam. Usaha sosial yang sudah berdiri sejak tahun 2014 lalu berusaha membantu Ibu-ibu usia mengandung di Flores dengan menghadirkan alternatif pekerjaan selain berladang di bawah iklim keras yang tidak bersahabat dengan kandungan mereka. Bagaimana Du’Anyam bisa menjalankan bisnisnya sekaligus memberikan dampak positif bagi komunitas? Yuk simak obrolan kami.

PLUS: Bagaimana awalnya kalian memulai Du’Anyam?

Awalnya, kami berlima adalah teman semasa SMA yang sering ikut kegiatan volunteering setelah jam sekolah. Setelah beberapa waktu sibuk dengan urusan masing-masing, di tahun 2012 ide mendirikan social enterprise muncul dari Ayu yang sedang menyelesaikan S2-nya di Harvard. Social enterprise memang sedang booming di Amerika Serikat kala itu. Hanna yang sedang bekerja di sebuah NGO juga banyak membagikan pengalamannya termasuk beberapa masalah yang kerap dihadapi NGO, seperti deadline proyek yang membuat program tidak mudah jadi berkelanjutan. Saat dana donor dihentikan maka programnya juga berhenti. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendirikan social enterprise untuk bisa menghadirkan “sesuatu” yang lebih sustainable kepada masyarakat.

Tim PLUS: Lalu kenapa di Flores?

Baca Juga: Berkolaborasi dan Bekerja Sama Demi Meraih Kesuksesan Dalam Usaha, Mengapa Tidak?

Hanna yang bekerja di NGO sudah 4 tahun mengelola program di Flores. Di sana ia melihat masalah kesehatan ibu dan anak yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kami putuskan Flores menjadi pintu pembuka social enterprise ini. Working with community is good if you have clear entry point.
Tim PLUS: Kenapa tertarik membantu Ibu-ibu usia mengandung disana?
Di Flores, kehidupan ekonomi masyarakatnya berkaitan sangat erat dengan agrikultur. Laki-laki atau suami kebanyakan bekerja sebagai TKI, sehingga sektor agrikultur ini digerakkan oleh Ibu-ibu disana. Mereka sudah terbiasa dengan kondisi yang cukup ekstrem seperti ladang yang berbukit, kering, tandus, dan sangat jauh. Masalahnya, meskipun Ibu-ibu sedang hamil, mereka tetap pergi berladang dengan iklim yang tidak bersahabat dengan kandungan mereka.
Salah satu cerita yang paling menggetarkan kami yaitu tentang Ibu Sinta. Berusia 28 tahun dan memiliki 4 orang anak, ia masih terus berladang hingga akhirnya mengalami komplikasi kehamilan. Rumah sakit gratis memang sudah disediakan oleh pemerintah, namun untuk pergi kesana Bu Cinta dan anggota masyarakat pada umumnya harus menyewa kendaraan karena lokasi rumah sakit yang sangat jauh terlebih lagi kondisi jalan yang sering tidak mulus dan biaya sewa cukup mahal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu Cinta harus melahirkan di pinggir jalan dan bayinya tidak terselamatkan. Kisah seperti ini tak asing lagi di kalangan Ibu-ibu. Fakta itu menguatkan keinginan kami untuk fokus bekerja sama dengan para Ibu di Flores.

Tim PLUS: Mengapa sih kalian memilih anyaman sebagai produk lokal yang diangkat?

Ibu-ibu disana sudah sangat familiar dengan anyaman. Mereka banyak menggunakan barang-barang dari anyaman daun lontar yang mereka buat sendiri untuk menyimpan hasil panen, membawa air, hingga upacara-upacara adat. Artinya, sudah memiliki skill untuk memproduksi barang-barang tersebut, Tantangan selanjutnya adalah quality control dari apa yang mereka produksi. Mulanya kami sempat ingin mengangkat tenun Flores yang juga terkenal. Namun, untuk membuat selembar tenun membutuhkan waktu yang lama serta investasi yang besar. Menjual tenunnya pun juga cukup sulit karena harganya mahal. Padahal, yang paling dibutuhkan Ibu-ibu disana adalah mendapatkan uang dengan cepat dan lancar. Produk-produk anyaman seperti keranjang, sandal hotel, dan tas misalnya bisa langsung kami salurkan ke konsumen bisnis dalam jumlah besar sehingga permasalahan mengenai arus kas ini bisa diatasi. Selama ini kami fokus ke model business to business, baru akhir tahun nanti kita akan merambah business to consumer. Sekarang ini 70 persen pendapatan Du’Anyam datang dari hotel.

Tim PLUS: Apa saja tantangan yang kalian hadapi dalam memulai Du’Anyam?

Baca Juga: Indonesian Social Enterprise Highlights – House of Diamonds Indonesia

Banyak! Tantangan pertama bagaimana merangkul komunitas yang ingin kita bantu. Mendapatkan kepercayaan dari mereka tidak mudah. Apalagi ketika komunitas yang dihadapi cukup sulit melakukan perubahan. Misalnya, awalnya Ibu-ibu ini terus bilang mereka tidak bisa membuat anyaman dengan model tertentu. Mereka selalu bilang “Tidak bisa nona. Mama cuma bisa seperti ini.” Hal ini berkaitan dengan tantangan kedua yaitu kontrol kualitas dan desain produk. Kita pasti selalu melakukan pengecekan kualitas sebelum didistribusikan ke pembeli karena barang yang kita jual ini handmade. Pengerjaan satu dan lainnya seringkali berbeda. Namun, kami tetapkan standar kualitas tertentu agar kualitas barang tetap terjaga. Selain itu, adanya fluktuasi permintaan dan penawaran juga menjadi tantangan tersendiri. Para pekerja bukan mesin yang bisa nyalakan dan hentikan setiap kali ada pesanan masuk atau pesanan yang selesai. Tergantung juga ketersediaan lontar. Akhirnya kami melakukan strategi constant supply dan menyimpan kelebihan suplai sebagai inventori yang nanti dikeluarkan di peak season saat pesanan memuncak. Satu lagi tantangan yang cukup besar bagi usaha sosial seperti kami yang beroperasi di daerah pelosok, terlebih di Indonesia Timur, yaitu logistik yang memakan biaya sangat besar. Ada sih, harapan baru dengan rencana dibangunnya tol laut. Tapi untuk jangka pendek? Harapan kami, PLUS bisa membantu menghubungkan usaha sosial, tidak hanya Du’Anyam, ke pelaku sektor logistik untuk menjalin kerjasama dalam hal ini.

Tim PLUS: Apa saja sih dampak yang sudah kalian buat dengan Du’Anyam?

Saat ini kami sudah menggandeng 15 desa dengan total sekitar 270 Ibu-ibu yang bergabung dengan Du’Anyam. Data menunjukkan penghasilan tambahan dari Du’Anyam rata-rata meningkatkan pendapatan keluarga hingga 20%.

Tim PLUS: Sekarang ini cukup banyak anak muda yang tertarik masuk desa untuk membantu masyarakat di sana. Ada tips untuk melakukan pendekatan ke komunitas yang dibantu?

Baca Juga: Indonesian Social Enterprise Highlights – House of Diamonds Indonesia

Pertama, dedikasikan waktu untuk tinggal bersama masyarakat yang ingin dibantu dan pahami mereka baik-baik. Penting untuk mengidentifikasi individu-individu di masyarakat tersebut yang bisa mempengaruhi kelompok-kelompok lain lebih luas. Misalnya, ketika kami memulai Du’Anyam di desa pertama yaitu Desa Duntana, kami melakukan pendekatan ke seorang Ibu yang membuka akses kami ke kelompok masyarakat lainnya. Saat Bu Heni bilang “iya”, yang lain lebih mudah mengikuti apa yang dikatakan. Tak kalah penting, kalian juga harus bisa menunjukkan hasil nyata dari program yang kalian buat. Misalnya, ketika ibu-ibu ini berhasil membuat anyaman yang memenuhi standar kualitas yang ditentukan, Du’Anyam langsung “membeli” anyaman tersebut dan mereka langsung mendapatkan uang yang bisa langsung mereka pakai. Terakhir, coba buat inovasi-inovasi kecil yang mudah dipahami dan membuat mereka tertarik. Contohnya, kami dulu mulai dari mengadakan pelatihan tentang teknik-teknik pewarnaan anyaman.

Tim PLUS: Dalam membantu komunitas, ada pihak-pihak lain yang perlu diajak berkolaborasi?

Ada. Salah satu yang paling penting adalah pemerintah. Ada beberapa hal yang perlu kita pelajari ketika ingin melakukan kerjasama dengan aparat pemerintahan. Coba temukan kesamaan tujuan. Sebenarnya hal ini juga bisa diimplementasikan ke stakeholder lain, seperti komunitas yang ingin dibantu. Namun harus diingat, setiap aparat pemerintahan memiliki karakteristik yang berbeda, hingga perlu cara pendekatan yang berbeda. Jangan pernah menyerah, tetap jaga ekspektasi kalian, dan yang terpenting, you have to know when to let go.

Tim PLUS: Pertanyaan terakhir, seperti apa Du’Anyam di masa depan?

Kami ingin komunitas yang sekarang dibantu bisa mandiri. Tidak hanya melakukan produksi anyaman, tapi kami ingin mereka juga bisa mandiri menjalankan bisnis ini, mulai dari mendapatkan pembeli hingga melakukan tugas-tugas administratif lainnya, misalnya lewat koperasi yang dapat membuka akses untuk pembeli lokal. Saat ini pekerjaan–pekerjaan tersebut masih dilakukan oleh Du’Anyam, namun kami berangsur-angsur mulai mengajarkan mereka kemampuan menjalankan bisnis tersebut, dengan harapan ke depannya terbentuk koperasi anyaman. Ekspansi? Jelas. Kami juga melihat ke kesempatan untuk melebarkan sayap di luar Flores, dimana masih banyak peluang untuk mengangkat handcraft khas Indonesia sekaligus mendorong masyarakatnya menjadi mandiri. Ditambah lagi, industri handcraft sendiri sebenarnya sangat besar dan banyak peminatnya. Kami ingin, ketika orang bilang anyaman Indonesia, mereka langsung ingat Du’Anyam. Sama seperti orang ingat Jim Thompson ketika kita bicara soal sutra dari Thailand! Beberapa saat yang lalu Tim PLUS berkesempatan ngobrol bareng Ayu dan Melia, dua dari lima perempuan inspiratif pendiri Du’Anyam. Usaha sosial yang sudah berdiri sejak tahun 2014 lalu berusaha membantu Ibu-ibu usia mengandung di Flores dengan menghadirkan alternatif pekerjaan selain berladang di bawah iklim keras yang tidak bersahabat dengan kandungan mereka. Bagaimana Du’Anyam bisa menjalankan bisnisnya sekaligus memberikan dampak positif bagi komunitas? Yuk simak obrolan kami.

PLUS: Bagaimana awalnya kalian memulai Du’Anyam?

Awalnya, kami berlima adalah teman semasa SMA yang sering ikut kegiatan volunteering setelah jam sekolah. Setelah beberapa waktu sibuk dengan urusan masing-masing, di tahun 2012 ide mendirikan social enterprise muncul dari Ayu yang sedang menyelesaikan S2-nya di Harvard. Social enterprise memang sedang booming di Amerika Serikat kala itu. Hanna yang sedang bekerja di sebuah NGO juga banyak membagikan pengalamannya termasuk beberapa masalah yang kerap dihadapi NGO, seperti deadline proyek yang membuat program tidak mudah jadi berkelanjutan. Saat dana donor dihentikan maka programnya juga berhenti. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendirikan social enterprise untuk bisa menghadirkan “sesuatu” yang lebih sustainable kepada masyarakat.

Tim PLUS: Lalu kenapa di Flores?

Hanna yang bekerja di NGO sudah 4 tahun mengelola program di Flores. Di sana ia melihat masalah kesehatan ibu dan anak yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kami putuskan Flores menjadi pintu pembuka social enterprise ini. Working with community is good if you have clear entry point.

Tim PLUS: Kenapa tertarik membantu Ibu-ibu usia mengandung disana?

Di Flores, kehidupan ekonomi masyarakatnya berkaitan sangat erat dengan agrikultur. Laki-laki atau suami kebanyakan bekerja sebagai TKI, sehingga sektor agrikultur ini digerakkan oleh Ibu-ibu disana. Mereka sudah terbiasa dengan kondisi yang cukup ekstrem seperti ladang yang berbukit, kering, tandus, dan sangat jauh. Masalahnya, meskipun Ibu-ibu sedang hamil, mereka tetap pergi berladang dengan iklim yang tidak bersahabat dengan kandungan mereka. Salah satu cerita yang paling menggetarkan kami yaitu tentang Ibu Sinta. Berusia 28 tahun dan memiliki 4 orang anak, ia masih terus berladang hingga akhirnya mengalami komplikasi kehamilan. Rumah sakit gratis memang sudah disediakan oleh pemerintah, namun untuk pergi kesana Bu Cinta dan anggota masyarakat pada umumnya harus menyewa kendaraan karena lokasi rumah sakit yang sangat jauh terlebih lagi kondisi jalan yang sering tidak mulus dan biaya sewa cukup mahal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu Cinta harus melahirkan di pinggir jalan dan bayinya tidak terselamatkan. Kisah seperti ini tak asing lagi di kalangan Ibu-ibu. Fakta itu menguatkan keinginan kami untuk fokus bekerja sama dengan para Ibu di Flores.

Tim PLUS: Mengapa sih kalian memilih anyaman sebagai produk lokal yang diangkat?

Ibu-ibu disana sudah sangat familiar dengan anyaman. Mereka banyak menggunakan barang-barang dari anyaman daun lontar yang mereka buat sendiri untuk menyimpan hasil panen, membawa air, hingga upacara-upacara adat. Artinya, sudah memiliki skill untuk memproduksi barang-barang tersebut, Tantangan selanjutnya adalah quality control dari apa yang mereka produksi. Mulanya kami sempat ingin mengangkat tenun Flores yang juga terkenal. Namun, untuk membuat selembar tenun membutuhkan waktu yang lama serta investasi yang besar. Menjual tenunnya pun juga cukup sulit karena harganya mahal. Padahal, yang paling dibutuhkan Ibu-ibu disana adalah mendapatkan uang dengan cepat dan lancar. Produk-produk anyaman seperti keranjang, sandal hotel, dan tas misalnya bisa langsung kami salurkan ke konsumen bisnis dalam jumlah besar sehingga permasalahan mengenai arus kas ini bisa diatasi. Selama ini kami fokus ke model business to business, baru akhir tahun nanti kita akan merambah business to consumer. Sekarang ini 70 persen pendapatan Du’Anyam datang dari hotel.

Tim PLUS: Apa saja tantangan yang kalian hadapi dalam memulai Du’Anyam?

Banyak! Tantangan pertama bagaimana merangkul komunitas yang ingin kita bantu. Mendapatkan kepercayaan dari mereka tidak mudah. Apalagi ketika komunitas yang dihadapi cukup sulit melakukan perubahan. Misalnya, awalnya Ibu-ibu ini terus bilang mereka tidak bisa membuat anyaman dengan model tertentu. Mereka selalu bilang “Tidak bisa nona. Mama cuma bisa seperti ini.” Hal ini berkaitan dengan tantangan kedua yaitu kontrol kualitas dan desain produk. Kita pasti selalu melakukan pengecekan kualitas sebelum didistribusikan ke pembeli karena barang yang kita jual ini handmade. Pengerjaan satu dan lainnya seringkali berbeda. Namun, kami tetapkan standar kualitas tertentu agar kualitas barang tetap terjaga. Selain itu, adanya fluktuasi permintaan dan penawaran juga menjadi tantangan tersendiri. Para pekerja bukan mesin yang bisa nyalakan dan hentikan setiap kali ada pesanan masuk atau pesanan yang selesai. Tergantung juga ketersediaan lontar. Akhirnya kami melakukan strategi constant supply dan menyimpan kelebihan suplai sebagai inventori yang nanti dikeluarkan di peak season saat pesanan memuncak. Satu lagi tantangan yang cukup besar bagi usaha sosial seperti kami yang beroperasi di daerah pelosok, terlebih di Indonesia Timur, yaitu logistik yang memakan biaya sangat besar. Ada sih, harapan baru dengan rencana dibangunnya tol laut. Tapi untuk jangka pendek? Harapan kami, PLUS bisa membantu menghubungkan usaha sosial, tidak hanya Du’Anyam, ke pelaku sektor logistik untuk menjalin kerjasama dalam hal ini.

Tim PLUS: Apa saja sih dampak yang sudah kalian buat dengan Du’Anyam?

Saat ini kami sudah menggandeng 15 desa dengan total sekitar 270 Ibu-ibu yang bergabung dengan Du’Anyam. Data menunjukkan penghasilan tambahan dari Du’Anyam rata-rata meningkatkan pendapatan keluarga hingga 20%.

Tim PLUS: Sekarang ini cukup banyak anak muda yang tertarik masuk desa untuk membantu masyarakat di sana. Ada tips untuk melakukan pendekatan ke komunitas yang dibantu?

Pertama, dedikasikan waktu untuk tinggal bersama masyarakat yang ingin dibantu dan pahami mereka baik-baik. Penting untuk mengidentifikasi individu-individu di masyarakat tersebut yang bisa mempengaruhi kelompok-kelompok lain lebih luas. Misalnya, ketika kami memulai Du’Anyam di desa pertama yaitu Desa Duntana, kami melakukan pendekatan ke seorang Ibu yang membuka akses kami ke kelompok masyarakat lainnya. Saat Bu Heni bilang “iya”, yang lain lebih mudah mengikuti apa yang dikatakan. Tak kalah penting, kalian juga harus bisa menunjukkan hasil nyata dari program yang kalian buat. Misalnya, ketika ibu-ibu ini berhasil membuat anyaman yang memenuhi standar kualitas yang ditentukan, Du’Anyam langsung “membeli” anyaman tersebut dan mereka langsung mendapatkan uang yang bisa langsung mereka pakai. Terakhir, coba buat inovasi-inovasi kecil yang mudah dipahami dan membuat mereka tertarik. Contohnya, kami dulu mulai dari mengadakan pelatihan tentang teknik-teknik pewarnaan anyaman.

Tim PLUS: Dalam membantu komunitas, ada pihak-pihak lain yang perlu diajak berkolaborasi?

Ada. Salah satu yang paling penting adalah pemerintah. Ada beberapa hal yang perlu kita pelajari ketika ingin melakukan kerjasama dengan aparat pemerintahan. Coba temukan kesamaan tujuan. Sebenarnya hal ini juga bisa diimplementasikan ke stakeholder lain, seperti komunitas yang ingin dibantu. Namun harus diingat, setiap aparat pemerintahan memiliki karakteristik yang berbeda, hingga perlu cara pendekatan yang berbeda. Jangan pernah menyerah, tetap jaga ekspektasi kalian, dan yang terpenting, you have to know when to let go.

Tim PLUS: Pertanyaan terakhir, seperti apa Du’Anyam di masa depan?

Kami ingin komunitas yang sekarang dibantu bisa mandiri. Tidak hanya melakukan produksi anyaman, tapi kami ingin mereka juga bisa mandiri menjalankan bisnis ini, mulai dari mendapatkan pembeli hingga melakukan tugas-tugas administratif lainnya, misalnya lewat koperasi yang dapat membuka akses untuk pembeli lokal. Saat ini pekerjaan–pekerjaan tersebut masih dilakukan oleh Du’Anyam, namun kami berangsur-angsur mulai mengajarkan mereka kemampuan menjalankan bisnis tersebut, dengan harapan ke depannya terbentuk koperasi anyaman. Ekspansi? Jelas. Kami juga melihat ke kesempatan untuk melebarkan sayap di luar Flores, dimana masih banyak peluang untuk mengangkat handcraft khas Indonesia sekaligus mendorong masyarakatnya menjadi mandiri. Ditambah lagi, industri handcraft sendiri sebenarnya sangat besar dan banyak peminatnya. Kami ingin, ketika orang bilang anyaman Indonesia, mereka langsung ingat Du’Anyam. Sama seperti orang ingat Jim Thompson ketika kita bicara soal sutra dari Thailand!

Share this page

facebook twitter linkedin whatsapp telegram messenger gmail yahoomail outlook